Sabtu, 13 November 2010

kumpulan cerpen

SEORANG GADIS
Karya : Euis Bulqis
Lagi-lagi sepi. Mataku menyelidik ke jendela-jendela rumah itu, mungkin ada satu atau dua wajah terlihat dibalik kelambunya yang hanya tertutup sebagian, tapi tetap tak terlihat apa-apa.1 bulan yang lalu, rumah tua yang telah berpuluh-puluh tahun dibiarkan kosong itu, akhirnya dihuni oleh keluarga Adri Suryo. Hanya itu informasi yang kutahu tentang mereka. Tak ada yang lain.
Sejak itu, sampai sekarang saja, tak pernah kulihat seorangpun keluar masuk rumah itu. Aneh kan?Bukan hanya aku yang penasaran, kedua sahabatku, Siska dan Dilla juga sama penasarannya denganku. Hampir setiap sore kami berkumpul di rumah Dilla, mengamati sudut-sudut rumah itu dari jendela kamar Dilla, yang berada di lantai 2. Berusaha mencari sedikit saja tanda kehidupan di dalam rumah aneh itu. Tapi kami tak pernah berhasil. Padahal menurut gossip yang beredar di komplek ini, di dalam rumah itu, tinggal sepasang suami istri dengan 6 orang anak. Harusnya kan anak-anak itu pergi sekolah, atau paling tidak, terdengar suara-suara candaan mereka. Tapi sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan disana. Sampai tadi malam, saat Dilla bangun tengah malam, ia mendengar sayup-sayup suara anak perempuan berkata "Ayo ayah, cepat." Suara itu terulang berkali-kali. Tapi tampaknya Dilla cukup pintar untuk kembali ke tempat tidurnya saja, daripada melihat keluar jendela, apalagi mendatangi asal suara.
Seperti cerita-cerita di film horor, saat hantunya muncul, sang pemeran utama justru mencari, mendatangi mereka."Tak tampak ada siapapun disana!" Kataku pada Dilla. "Tak mungkin, aku dengar sendiri tadi malam, ada seorang anak perempuan disana." Dilla tetap ngotot. "Iya, tak ada siapapun disana. Mungkin itu suara orang lain, dari rumah lain." Siska ikut berdebat. "Heyyy...di blok ini, cuma kita bertiga remaja perempuannya. Tak ada lagi." Dilla mendebat lagi. "Mungkin Hani, anaknya bu Salimah." Kataku asal. "Hani kan baru berumur 2 bulan. Ngaco kamu...hahahaha." Dilla dan Siska tertawa.Tapi setelah kupikir-pikir, benar juga ya...remaja perempuan di blok ini hanya aku, Siska dan Dilla. Tak mungkin juga kan Dilla mendengar suara anak perempuan dari blok
sebelah.Maka, dengan segala rasa penasaranku, aku bertekad untuk begadang malam ini, mengawasi rumah itu dari kamar kak Doni di lantai 2. Kamarku di lantai bawah, tak mungkin terlihat. Kak Doni sedang ditugaskan ke Bandung selama seminggu. Aku bisa menempati kamarnya. *** Kulihat lagi jam dindingku, sudah pukul 12.30 malam, tapi belum ada tanda-tanda apapun. Padahal jendela kamar juga kubuka, supaya suara-suara dari luar lebih mudah terdengar. Mataku sudah hampir tertutup rapat. Belum pernah aku terbangun sampai selarut ini sebelumnya.Tiba-tiba dari luar kudengar "Ayo ayah, cepat."
Awalnya suara itu terdengar sayup, lama kelamaan, rengekan seorang anak perempuan kepada ayahnya itu pun terdengar jelas juga. Pelan-pelan kulihat kearah rumah itu, kulihat kearah teras rumahnya, tak ada siapapun. Di jendela-jendelanya pun tak tampak apapun. Tapi suara itu masih jelas terdengar. Pelan-pelan ku cari lagi asal suara itu.Saat aku mendongak keatas, "Ya TUHAN!!!" Hatiku sontak berteriak, tapi mulutku tak dapat berkata apapun. Cepat-cepat kututup jendela, serta kelambunya, lalu kunyalakan semua lampu yang ada di kamar, aku melompat ke tempat tidur, lalu kutarik selimutku menutupi wajahku.Terus kucoba menghubungi Dilla lewat HP-nya, tapi tak diangkat. Aku takut dibilang gila, itu sebabnya aku ingin Dilla juga melihat kearah rumah itu. Aku juga ingin tahu apakah ia melihat apa yang kulihat.
Setelah beberapa jam dalam ketakutan, akhirnya bisa juga aku tidur, walaupun tak nyenyak, karena rengekan anak perempuan itu terus terngiang di telingaku. *** "Dilla!!!" Teriakku kencang, memanggil Dilla yang tampak berdiri di depan kelasnya. Dilla langsung menoleh padaku, ia lalu datang padaku cepat-cepat. "Ada apa sih Mona???" Tanyanya agak kesal. Kuajak Dilla ke taman belakang kelas. "Aku percaya apa yang kau bilang tempo hari." Kataku sangat serius. "Yang mana?" "Tentang suara anak perempuan di rumah itu. Semalam aku begadang, mengawasi rumah itu." "Apa? Lalu, apa yang kau lihat?" "Sebelumnya, janji kau tak akan bilang aku gila!" "Iya, katakan!" "Aku...melihat...anak perempuan itu." "Benarkah? Dia seumuran kita kan?" "Ya, kurasa dia seumuran kita, dia juga cantik, tapi kurasa...kurasa...uuummmm..." "Apa Mona, bilang." "Kurasa dia sudah mati Dilla!" "APA??? Kau ini berkhayal
ya? Apa sih maksudmu Mon? Sebenarnya apa yang kau lihat?" "Kulihat anak itu menarik lengan ayahnya, memaksa ayahnya mengikutinya...di...di atas atap rumah itu. Tapi ayahnya terus menggelengkan kepalanya sambil menangis. tak berapa lama, anak perempuan itu jatuh ke bawah, lalu menghilang!" "Apa? Jatuh, lalu menghilang? Aku..aku...aku tak tahu harus berkata apa Mon." "Kau kira aku gila kan?" "Bukan begitu...masalahnya, aku juga melihat hal yang sama, hanya saja...aku tak melihat bagian anak itu jatuh. Aku hanya melihatnya menarik lengan ayahnya di atas atap. Aku tak berani melihat kelanjutannya." "Apa? Kenapa kau bilang..." "Ya...Aku cuma tak ingin membuat kau dan Siska takut." "Apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu Dil?" Tiba-tiba, bel masuk sekolah berbunyi, kami harus kembali ke kelas kami masing-masing. "Jangan bilang apapun pada Siska. Ia yang paling penakut diantara kita." "Ya, aku tahu." "Kau temui aku disini lagi, sepulang sekolah nanti, kita akan pergi kerumah itu." "A...apa? Kita apa? Eh...eh...mau kemana kau?" Belum sempat Dilla menjawab, ia sudah buru-buru pergi. *** "Cepat Monaaa...!" Dilla menarik kuat tanganku.
Walaupun hari masih siang, tetapi suasana di rumah tua ini tetap mencekam. Aku sempat merasa ragu, tapi Dilla terus memaksa. Kupikir, tidak ada salahnya juga. Toh tidak akan terjadi apa-apa di siang hari bolong seperti ini.Cepat-cepat kami buka gerbang depan, yang hanya diganjal sebatang kayu di gagangnya. Gerbang itu tampak sangat rusak, berkarat, sehingga menghasilkan bunyi "Ngiiiik.." yang sama sekali tidak enak didengar. Kami lewati halaman rumah yang lumayan luas itu dengan sedikit berlari sembari melihat kanan kiri. Kami takut kalau sampai tetangga lain melihat.Bentuk rumah ini sebenarnya bagus, bukan model rumah tua berhantu seperti yang ada di film-film horor. Hanya saja catnya kering dan mengelupas, halamannya sudah banyak ditumbuhi rumput liar, dan temboknya sudah banyak ditumbuhi tanaman rambat liar. Itu yang menbuat rumah ini terlihat seram, apalagi di malam hari. "Tok tok tok!" Dilla mengetuk pintu depan, tanpa meminta persetujuan dulu padaku.Berani sekali dia. "Sebenarnya untuk apa sih kita kemari? Aduh, aku menyesal mendengarkanmu!" Kataku panik. "Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini Mona." Kata Dilla sambil berusaha mengetuk lagi.Tiba-tiba dari dalam terdengar
suara seorang anak perempuan "sebentar!". Suaranya mirip sekali dengan suara anak perempuan yang aku dan Dilla lihat. Jangan-jangan memang dia? Bulu kudukku mulai berdiri. Aku tak berani lagi bicara apa-apa. Dilla juga tampak takut. Ia diam saja. Kami berpandangan, seolah mengatakan "Kita saling jaga ya, jangan takut!"Pelan-pelan pintu terbuka. Benar saja, yang kami lihat itu anak perempuan yang sama seperti yang terlihat di atas atap tadi malam. Hanya saja, yang ini tampak beberapa tahun lebih tua. Aku dan Dilla diam, tak berani bicara apapun. Kurasa kami berdua membeku ketakutan.
"Selamat siang, kalian mencari siapa ya?" Anak perempuan itu tersenyum ramah. Tapi tetap saja kami takut setengah mati. "Heii...!" Anak perempuan itu berkata lagi, sambil melambaikan tangannya di depan hidung kami.
"Eeemmm...maaf, kami...kami...mmmmmau." Dilla memberanikan diri bicara, walaupun terbata-bata. Namun belum sempat Dilla menyelesaikan kalimatnya, anak itu berkata lagi "Kalian telah melihat dia bukan?" Kali ini, raut wajahnya berbeda.Lagi-lagi aku dan Dilla hanya bisa saling berpandang ketakutan. Tapi dari kata-katanya, tampaknya anak itu tahu bahwa kami telah melihat kejadian itu. Tapi anak itu menyebutnya "dia", berarti bukan dirinya sendiri? Lalu siapa yang berhadapan denganku, dan siapa anak perempuan diatas atap itu? Wajah mereka persis sama. Apa mungkin mereka..."Mari, silahkan masuk, akan kujelaskan didalam." Anak itu mempersilahkan kami masuk kedalam rumahnya, yang ternyata sangat bersih, teratur dan indah.
Berbeda sekali dengan bentuk luarnya. Kami pun duduk di sofa minimalis berwarna khaki. Masih ada rasa takut, namun rasa penasaranku mengalahkan segalanya, lagipula kurasa anak ini ramah dan yang lebih penting...dia hidup. Ia berjalan menapak, dan tubuhnya berbayang di tembok."Umm...Maaf kalau kami mengganggu. Kita bertetangga. Rumahku di seberang, nomor 2 dari kiri, dan rumah temanku, tepat di depan rumah ini. Aku Mona, dan dia Dilla." "Yah, aku tahu, aku sering melihat kalian keluar bersama, berangkat sekolah bersama, aku iri pada kalian." Kata anak itu pelan, tetapi senyum kecilnya tetap mengembang. "Sebenarnya kami kemari karena kami berdua melihat seorang anak perempu..." Belum sempat Dilla menyelesaikan kalimatnya, anak itu menyahut. "Anak perempuan yang wajahnya
sama sepertiku, sedang menarik-narik ayahnya, sampai akhirnya dia terjatuh, lalu menghilang kan???" "Ya...Maaf, tapi memang itu yang terjadi, kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini. Mengapa kamu tak pernah melihat aktifitas apapun dari rumah ini?" Dilla lalu memberondongnya dengan pertanyaan. "Aku Gadis, anak perempuan yang kaulihat itu, saudara kembarku Diana." Ia lalu diam, memandangi kami dengan wajah sendu. Kami pun diam, menunggunya melanjutkan ceritanya."Diana meninggal 3 tahun yang lalu. Ia lompat dari atap rumah kami di Surabaya waktu itu. Orang tua kami tak pernah peduli pada kami. yang mereka lakukan hanya bekerja setiap saat, setiap waktu.
Memang kami dapat semua yang kami inginkan, tetapi kami tak pernah bahagia. Aku lebih kuat dari Diana, aku masih bisa tersenyum. TapiDiana tumbuh menjadi anak yang kesepian, pendiam, bahkan cenderung aneh. Ia suka sekali berbicara sendiri, di sekolah, dimana saja. Di sekolah ia menjadi bahan ejekan teman-teman." Ia berhenti lagi, matanya berkaca-kaca. "Hampir 4 tahun lalu, ia divonis menderita ganguan jiwa, dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ia berada disana sekitar 9 bulan, sampai tanggal 2 April 2006, di hari ulang tahunnya, ia minta pulang kerumah. Ia bilang, ia ingin bersama ayah dan ibu satu hari saja. Aku yang hampir setiap hari menemaninya melewati hari-hari sepi di RS Jiwa, ingin sekali membantunya. Aku berusaha menghubungi ayah dan ibu, tapi tak satupun yang bersedia pulang untuknya. Bagaimanapun, ia tetap pulang, namun tanpa sepengetahuanku, ia mengirimkan pesan singkat pada ayah dan ibu lewat hp. Ia bilang 'kalau ayah dan ibu tidak pulang sampai jam 12 nanti malam, Diana mau bunuh diri saja. Setelah Diana mati, Diana ajak ayah dan ibu juga ya.'. Ayah dan ibuku mengira, itu hanya bagian dari kegilaannya saja. Mereka benar-benar tak pulang ke rumah. Dan Diana pun benar-benar melompat dari atap rumah kami, tepat pukul 12.30 malam. Petaka tak berhenti sampai disitu, 3 hari setelahnya, ia kembali kerumah, mengajak ibu ke atap, lalu melompat juga. Ibuku juga meninggal.""Kenapa ia tak menolak ajakan Diana? Seperti yang dilakukan ayahmu." Tanya Dilla penasaran. "Mungkin karena rasa bersalahnya. Ibuku menjadi setengah gila setelah Diana meninggal." "Lalu apa yang terjadi dengan
ayahmu?" Dilla terus bertanya. "Ia masih ada, tetapi sama juga, ia stres, namun ia masih cukup sadar untuk menolak ajakan Diana.
Hampir setiap malam Diana datang padanya. Terkadang ia diam saja, terkadang ia ikut ke atas atap, hanya menunggu waktu saja sampai ayah benar-benar ikut melompat. Kami sudah mencoba pindah rumah ke Malang, ia masih mengikuti kami, membuat tetangga kami yang melihat kejadian atap itu ketakutan setengah mati, sampai akhirnya memprovokasi masyarakat untuk mengusir kami. Hanya 7 bulan kami tinggal di Malang. Begitu pula yang terjadi di Semarang, Bekasi, dan sekarang disini. Kami tahu kami tak akan pernah bisa bertahan dimanapun lebih dari 9 bulan.""Lalu bagaimana dengan cerita orang bahwa di rumah ini sebenarnya tinggal sebuah keluarga dengan 6 orang anak?" Tanyaku padanya. "Yah...cerita berbeda di setiap tempat. Kami berdua hidup dari uang deposito ayahku. Ia tak pernah lagi bekerja, apalagi keluar rumah. Ia hanya bisa menangis. Aku pun malu menghadapi masyarakat. Apa yang harus kukatakan tentang keluargaku? Kami tak pernah keluar rumah, mungkin itu sebabnya mereka mulai mengarang cerita tentang kami.""Begitu...Mmmmm...kurasa aku ingin membantumu. Aku ingin menjadi temanmu. Begitu juga Dilla. Iya kan Dill?" Aku berkata terus terang. Tapi Dilla tampak tak setuju, raut wajahnya tampak tak suka dengan ide ini. Berbeda dengan Gadis, ia tampak senang. Mungkin ini pertama kalinya ia punya teman, selain Diana, sejak beberapa tahun terakhir ini. *** Seharian, yang kupikirkan hanya Gadis, Diana, dan tragedi yang menimpa hidup mereka. Tapi aku senang karena mulai saat ini, aku bisa menjadi temannya. Walaupun tak sepenuhnya membantu menyelesaikan masalahnya, dan mungkin aku masih akan sering melihat Diana di atas atap rumahnya, setidaknya Gadis punya seorang teman yang bisa ia ajak berbagi.
Ohhhh...Hari ini sangat melelahkan, kurasa ini saatnya aku tidur. Kurebahkan badanku diatas tempat tidur, kutarik selimutku sebatas dada. Lalu sayup-sayup kudengar langkah kaki dari arah pintu kamarku, aku berbalik ke kanan...wajahnya...seperti mirip Gadis, hanya beberapa tahun lebih muda. Nafasku terhenti, aku tak bisa berucap sepatah kata pun. "Kurasa, kau bisa menyusul setelah ayahku. Karena kau berusaha merebut saudaraku!!!"

SELESAI
DAN
SEKIAN TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FULL NAME :
LAST NAME
E-Mail :
COMMENT