Minggu, 30 November 2014

RUKUN SHALAT

Rukun shalat ada 17


1. Niat,
sebagaimana hadits 1 diatas “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat,,,” dan Hadits Rasul saw “sesungguhnya amal itu dengan niat”.

Masalah lafadh niat itu adalah demi Ta’kid saja, (penguat dari apa yg diniatkan), itu saja, berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.

2. Menghadap kiblat dan berdiri dalam shalat Fardhu,
dari susunan hadist 1 diatas bahwa hendaknya menghadap kiblat sebelum bertakbir (syarah dari Imam alwi abbas al Maliki kitab Ibanatul ahkam)

3. Bertakbir,
yaitu membuka shalat dalam takbirratul ikhram (pendapat terbanyak dari Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki bahwa takbiratul ikhram wajib dengan lafdz ‘Allahhu Akbar’).

4. Membaca Alfatihah,
para ulama sepakat Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki wajibnya membaca Alfatihah disetiap rakaatnya. sebagaimana Hadits Rasulullah saw : “ Tidak sempurna shalat seseorang bila tidak membaca biummil Qur’an (Al Fatihah)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menngenai posisi kedua tangan (bersedekap) setelah takbir (pada waktu berdiri), Berkata Alhafidh Imam Nawawi : “Meletakkannya dibawah dadanya dan diatas pusarnya, inilah madzhab kita yg masyhur, dan demikianlah pendapat Jumhur (terbanyak), dalam pendapat Hanafi dan beberapa imam lainnya adalah menaruh kedua tangan dibawah pusar, menurut Imam Malik boleh memilih antara menaruh kedua tangan dibawah dadanya atau melepaskannya kebawah dan ini pendapat Jumhur dalam mazhabnya dan yg masyhur pada mereka” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 4 hal 114)..

Dari penjelasan ini fahamlah kita bahwa pendapat yg Jumhur (kesepakatan terbanyak dari seluruh Imam dan Muhaddits) adalah menaruh kedua tangan diantara dada dan pusar DIBAWAH DADA DI ATAS PUSER, walaupun riwayat yg mengatakan diatas dada itu shahih, namun pendapat Ibn Mundzir “bahwa hal itu tak ada kejelasan yg nyata, bahwa Nabi saw menaruh kedua tangannya diatas dada, maka orang boleh memilih” (Aunul Ma’bud Juz 2 hal 323.

Adapun kitab “sifat shalat nabi” yg ditulis Syaikh nashiruddin Albani adalah kitab yg mengajarkan kesesatan!. Dalam buku ini Albany mengajarkan satu lagi kesesatan dalam cara shalat yaitu “tangan bersedekap diatas dada”. Sungguh ini adalah perkataan2 yng menyelisihi imam 4 madzab Ahlusunnah!.

5. Rukuk,
diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah saw Ubbayd assaa’idi ra berkata : “bahwasannya melihat Rasulullah saw jika bertakbir kedua tangannya sejajar dengan bahunya, jika berukuk kedua tangannnya memegang kedua lututnya, sampai dengan akhir…..” ( HR. Imam Bukhari dan Muslim)

6. Tuma’ninah dalam berrukuk,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian engkau berrukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk…”

7. I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “… kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal)…”

8. Tuma’ninah dalam I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “…Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu…”

Mengenai Qunut, memang terdapat Ikhtilaf pada 4 madzhab, masing masing mempunyai pendapat, sebagaimana Imam Syafii mengkhususkannya pada setelah ruku pada rakaat kedua di shalat subuh.., dan Imam Malik mengkhususkannya pada sebelum ruku pada Rakaat kedua di shalat subuh (Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughulmaram Bab I),

mengenai Qunut dengan mengangkat kedua tangan telah dilakukan oleh Rasul saw dan para sahabat, maaf saya tak bisa menyebut satu persatu, namun hal itu teriwayatkan pada : Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi.

Lagi-lagi syaikh alBany (wahaby) membuat bid’ah baru dalam shalat, yaitu “Tangan bersedekap pada waktu i’tidal”….ini adalah bid’ah yang dibuat-buat. Tidak ada dalil yang menunjukan perkara ini, dan hal ini tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah dan tidak dijumpai dalam fatwa-fatwa imam ahlusunnah (imam-imam 4 madzab). Lihatlah orang-orang yg terpengaruh kitab sesat “sifat shalat nabi karya albani” mereka merasa shalat mereka yang paling benar dan mereka bersedekap setelah i’tidal (ini adalah bid’ah yang nyata!).

9. Sujud pertama dan Sujud kedua,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut…” dan Hadits Rasulullah saw : “aku diperintah untuk bersujud dengan 7 anggota tubuh (atas dahi, kedua tangan, kedua lutut dan jari-jari kaki)” ( HR. Mutafaqul’alayh) . Sabda Rasul saw : “Bahwa engkau sujud maka taruhlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu” (HR. Muslim)

10. Tuma’ninah dalam sujud pertama dan tuma’ninah dalam sujud kedua, sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud…”

11. Duduk diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) …”

12. Tuma’ninah diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu…”

13. Tasyahud akhir,
Riwayat Muslim dari Ibn Abbas berkata Rasul saw mengajari kami tasyahud “Attahiyatul mubaarakatus shalawatutthoybatul illah…” sampai dengan akhir.

Mengenai mengucapkan “Assalamualaika ayyuhannabiyy wr wb”, adalah wajib dan merupakan Syarat Sah shalat, demikian dalam Madzhab Syafii, mengenai pendapat para muhaddits lainnya bahwa setelah wafat mereka merubah pembacaan salam itu maka Imam Syafii tetap berpegang pada yg diajarkan langsung oleh Rasul saw dimasa hidupnya,

dan Jumhur (sebagian besar) ulama tetap berpegang pada lafadh yg diajarkan dimasa hidupnya Nabi saw, demi menjaga lafadh shalat yg diajarkan oleh Rasul saw (Atahdzir wattanwir Juz 11 hal 31 dan didalam madzhab syafii tidak sah terkecuali mengucapkan “Assalamualaika ayyuhannabiyyu warahmatullah wabarakatuh” (AL Majmu’ Juz 4 hal 81),

dan Imam syafii memang merupakan satu satunya Imam yg sangat berhati hati dalam memutuskan hukum dan fatwa, terbukti sebagian besar ulama bermadzhabkan syafii.

Adapun kitab “sifat shalat nabi” yg ditulis Syaikh nashiruddin Albani adalah kitab yg mengajarkan kesesatan!. Dalam buku ini Albany melarang membaca “Assalamualaika ayyuhannabiyyu warahmatullah wabarakatuh” ini adalah pendapat yg lemah dan menyesatkan umat. Albani mengutip pendapat ini secara tidak lengkap dari kitab Fathul Bari (Ibnu Hajar Atsqalani), padahal ibun Hajar Atsqalani adalah jelas-jelas ulama bermadzab syafei! dan dalam kitab Fathul Bari (Ibnu Hajar Atsqalani) menyebutkan berbagai pendapat dalam bacaaan tahiyat hanya untuk menambah wawasan pembaca mengenai bacaan tahiyat shalat, tetapi bacaan tahiyat yang paling shahih adalah Pendapat Imam Syafii tetap berpegang pada yg diajarkan langsung oleh Rasul saw dimasa hidupnya, dan Jumhur (sebagian besar) ulama tetap berpegang pada lafadh yg diajarkan dimasa hidupnya Nabi saw, demi menjaga lafadh shalat yg diajarkan oleh Rasul saw (Atahdzir wattanwir Juz 11 hal 31

14. Duduk diTasyahud akhir,
sebagaimana hadits 2 diatas “ ketika duduk untuk berTasyahud…”

15. Bershalawat kepada Rasul saw,
sebagaimana hadits 3 diatas “ Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu…”. Imam Syafi’I berpendapat bahwa beshalawat atas Rasul saw dan keluarganya dalam shalat adalah Wajib bagi kita, sebagaimana hadits 3 diatas.

ucapan ucapan itu boleh saja dilakukan dan boleh tidak, karena tak ada perintah dalam hadits beliau saw yg menjelaskan kita harus memanggil dg Sayyidina atau lainnya.
maka menambahi nama sahabat dg Radhiyallahu ‘anhu pun boleh atau boleh pula tidak, atau saat shalat kita membaca surat dan menyebut nama para nabi, maka boleh mengucapkan / menambahkan alaihissalam, namun yg jadi masalah adalah mereka yg “tak mau” atau bahkan “melarang” menyebut sayyidina pada para sahabat bahkan pada Rasul saw
karena Rasul saw memperbolehkannya, sebagaimana sabda Beliau saw : “janganlah kalian berkata : beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb mu (Rabb juga bermakna pemilik, ucapan ini adalah antara budak dan tuannya dimasa jahiliyah), tapi ucapkanlah (pada tuan kalian) Sayyidy dan Maulay (tuanku dan Junjunganku) , dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka : wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu” (shahih Bukhari hadits no.2414) hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no.2249.

maka jelaslah bla budak saja diperbolehkan mengucapkan hal itu pada tuannya, bagaimana kita kepada sahabat yg mereka itu adalah guru guru mulia seluruh muslimin, sebagaimana ucapan yg masyhur dikalangan sahabat : “aku adalah budak bagi mereka yg mengajariku satu huruf”, atau hadits Nabi saw yg bersabda : “bila seseorang telah mengajarkanmu satu ayat maka engkau telah menjadi budaknya” maksudnya sepantasnya kita memuliakan guru guru kita, lebih lebih lagi para sahabat, karena par sahabat sendiri satu sama lain mengucapkan

Rasul saw bersabda dihadapan para sahabat seraya menunjuk Hasan bin Ali ra anhuma : “sungguh putraku ini (hasan bin Ali) adalah Sayyid, dan ia akan mendamaikan dua kelompok muslimin” (shahih Bukhari hadits no.3430, juga dg hadits yg semakna pada hadits no.2557)

berkata Umar bin Khattab ra kepada Abubakar shidiq ra : “aku membai’atmu, engkau adalah sayyiduna, wa khairuna, wa ahibbuna” (engkaulah pemimpin kami, yg terbaik dari kami, dan yg tercinta dari kami). (shahih Bukhari hadits no.3467)
Umar ra berkata kepada Bilal dg ucapan sayyidina. (shahih Bukhari hadits no..3544).
dan masih banyak lagi dalil dalil shahih mengenai hal ini.

16. Salam,
sebagaimana hadits 4 diatas “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Sebagaimana hadits 4 maka para Imam beritifak bahwa salam awal wajib bagi seorang imam atau ma’mum atau sendiri dan salam kedua sunah, dan paling sedikitnya salam (Assalamu’alaikum) dikarnakan penduduk madinah melakukannya. (Kitab Ibbanatul Ahkam: Imam Alwi bin Abbas al maliki)INDO BUSSINES ISLAMIYAH

HUKUM - HUKUM NIKAH

Hukum Pernikahan Dalam Islam
Dalam pertemuan ini, kita akan membahas kajian tentang hukum-hukum nikah dalam pandangan syariah.
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.
Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.

1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.(QS.An-Nur : 33)

2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,\”Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.

3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.

4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.

5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.